Thursday, March 31, 2011

Tuhan Tidak Pernah Benar

Tuhan Tidak Pernah Benar
oleh : Gede Prama

Setiap jenjang kedewasaan yang lebih tinggi, demikian
pengalaman saya bertutur, sering kali mentertawakan
jenjang kedewasaan
di bawahnya.
Ketika baru saja mulai belajar bekerja sebagai seorang
sarjana baru di salah satu perusahaan Jepang, kerap kali
dalam rapat
saya ditertawakan orang karena berbicara dengan
jargon-jargon universitas yang asing.
Tatkala baru belajar berbicara di depan umum, tidak
sedikit orang yang mengatakan bahwa muka saya merah ketika
didebat orang.
Pada saat baru belajar memimpin orang, sejumlah bawahan
memberi masukan kalau saya mudah sekali tersinggung.
Pada tahapan-tahapan tertentu dalam kehidupan saya sebagai
manusia, pernah terjadi Tuhan tidak pernah saya anggap
benar.
Ketika belum jadi manajer, memohon ke Tuhan agar jadi
manajer.
Namun, begitu merasakan beratnya duduk di kursi pimpinan
ini, maka Tuhanpun disesalkan.
Tatkala, naik bus kota sering berdoa agar punya mobil.
Saat mobil sudah di tangan, kemudian menggerogoti kantong
dengan seluruh kerusakannya, maka salah lagilah Tuhan.

Sekarang, ketika tabungan pengalaman dan kesulitan telah
bertambah, rambut sudah mulai memutih, badan dan jiwa
mulai lebih
tahan bantingan, terlihat jelas, betapa naif dan
kekanak-kanakannya saya pernahjadi manusia.

Yang membuat saya super heran, kalau bertemu orang dengan
umur yang jauh lebih tua dari saya, tetapi memiliki
tingkat
kenaifan yang sama dengan saya ketika masih amat muda.

Bekerja dengan orang lain, bahkan termasuk dengan pemilik
perusahaanpun, tidak ada yang dinilai benar dan pintar.
Setiap orang, di mata orang ini, hanyalah kumpulan manusia
yang tidak patut dihargai.
Kecuali, tentunya manusia-manusia dengan isi kepala yang
sama, atau mau berkorban menyesuaikan diri sepenuhnya.

Di salah satu perusahaan yang menjadi klien saya, orang
mengenal seorang pimpinan yang diberi stempel Mr.
Complain.
Semua orang di sekitarnya - dari sekretaris hingga bos
besar - dikeluhkan begini dan begitu.
Dengan saya, Tuhan pun sering di-complain.
Dari salah profesi, keliru memilih istri, anak-anak yang
tidak bisa diurus, sampai dengan pemilik perusahaan yang
dia sebut
super kampungan.
Sebagai hasilnya, ia memiliki koleksi musuh yang demikian
banyak, pindah kerja dari satu tempat ke tempat lain, dan
yang
paling penting memiliki kehidupan yang kering kerontang.

Di mata orang-orang seperti ini, Tuhan senantiasa tidak
pernah benar.
Sulit sekali bagi manusia jenis ini untuk menerima saja
lingkungan dan rezekinya.
Yang ada hanyalah keluhan, keluhan dan keluhan.

Dengan sedikit kejernihan, diri kita sebenarnya karunia
Tuhan yang paling berharga.
Anda dengan hidung, mata, bibir, kepribadian, ketrampilan,
dan senyuman yang Anda miliki, hanya dimiliki oleh Anda
sendiri.

Tukang jahit jarang sekali membuat satu model baju untuk
satu orang saja.
Pabrik mobil sangat sedikit yang membuat mobil hanya untuk
satu orang saja.
Arsitek sedikit yang gambarnya diperuntukkan hanya untuk
satu orang saja.
Kalaupun ada tukang jahit, pabrik mobil dan arsitek yang
membuat disain khusus, dengan sangat mudah orang lain bisa
menirunya.

Tetapi Tuhan, mendisain setiap manusia semuanya dengan
keunikan.
Bahkan, manusia kembar pun tetap unik.
Dan yang paling penting, tidak ada satupun yang bisa
meniru Anda dengan seluruh keunikan Anda.
Bayangkan, betapa sulit dan besar energi yang dibutuhkan
untuk mendisain sesuatu yang unik dan tidak bisa ditiru
siapapun.

Bercermin dari sini, disamping kita harus berterimakasih
ke Tuhan karena menciptakan keunikan yang tidak ada
tiruannya,
sudah saatnya untuk mencari cara bagaimana keunikan dalam
diri ini bisa dimaksimalkan.

Hidung saya yang tidak mancung ini tentu saja hanya milik
saya seorang diri.
Dulu ia menjadi sumber rasa minder, namun ketika ada orang
yang mengatakan ini penuh keberuntungan, maka berubahlah
dia
sebagai energi keberhasilan.
Orang Bali dengan logat Batak, hanyalah milik saya seorang
diri, belakangan justru ini yang membuat pembicaraan saya
khas.
Penulis manajemen yang berkombinasi dengan konsultan,
eksekutif dan bercampur dengan sedikit darah seniman, bisa
jadi hanya
menjadi milik saya seorang diri.
Tidak semua orang suka tentunya dengan saya, tetapi inilah
saya yang amat saya banggakan dan saya syukuri.
Herannya, semakin banyak kebanggaan yang saya sukuri,
badan ini menarik saya ke serangkaian kebanggaan yang
lebih
membanggakan lagi.
Bahkan, terhadap satu unsur badan yang sebenarnya tidak
berubah - sebagai contoh hidung - dengan meningkatnya rasa
sukur, ia
tampak lebih menarik dan menarik.
Demikian juga dengan istri, anak, mertua dan rezeki Tuhan
lainnya.
Mereka bertambah cantik, menarik dan mendukung sejalan
dengan semakin banyaknya rasa syukur.

Kembali ke cerita awal tentang manusia yang kerap
menempatkan Tuhan dalam posisi tidak benar selalu, sudah
saatnya mungkin
kita menerima dan menghargai seluruh keunikan yang hanya
milik kita sendiri.

Kalau memiliki rumah, mobil, baju yang hanya didisain
khusus untuk kita, tentu saja ia amat membahagiakan dan
membanggakan.
Demikian juga dengan tubuh dan jiwa ini.
Ia hanya didisain khusus untuk kita.

Baik, buruk, cantik, ganteng, menarik, simpatik atau
membosankan sekalipun, sebenarnya hanyalah judul dan
stempel yang kita
berikan ke tubuh unik yang kita bawa ke mana-mana ini.
Bedanya, judul ini kemudian tidak hanya mengubah mata
Anda, tetapi juga mata orang lain dalam melihat diri Anda
sendiri.

0 komentar:

Post a Comment