Di perut kereta rel listrik dalam perjalanan Depok-Jakarta, siang
itu, sekitar 14.30 wib, muncul sekelompok pengamen cilik dengan segala
atributnya. Sembari mengucap salam, dentam musik mereka membangunkan sebagian
besar penumpang yang terserang kantuk. Lalu mengalirlah lagu-lagu lawas bernada
gembira, serasa membawa nuansa angin segar pada siang yang cukup suntuk dan
gerah.
“Oo... Carol….
Gitar, gendang, kecrekan dan lengkingan suara bocah 9 tahun-an itu terdengar
begitu riang. Tanpa sadar menarik senyum dan hentakan kaki tiap penumpang KRL
yang ada.
Seolah tanpa lelah, bocah-bocah itu membawakan 3-4 lagu, hingga ketika bait
terakhir nyaris usai, 2 orang mahasiswa yang sejak awal begitu menikmati sajian
mereka, berteriak lantang, “Lagi! Lagi!”. Dan temannya menimpali, “We want
more! We want more!”.
Kawan, terkadang hidup ini terasa begitu berat. Jam kerja yang padat, jadwal
kuliah yang penuh, kognitif yang tertekan oleh ujian-ujian, ulah anak-anak yang
banyak tingkah, kepenatan yang menumpuk, amanah yang tak habis-habis dan tak
kunjung selesai, dan segala problematika kehidupan lainnya, terasa begitu
membuat tertekan.
Tapi, mari kita tengok dan renungkan sejenak.
Lihatlah wajah-wajah bocah pengamen cilik tadi yang begitu riang gembira, tetap
menghibur orang lain meski tak pernah tahu apakah sukacita dalam dirinya telah
cukup melebur. Mereka hanya bernyanyi, dan itu mereka lakukan dengan demi
segenggam logam dan recehan. Dan mereka perbuat semua itu demi mempertahankan
hidupnya; mungkin untuk makan, mungkin untuk membayar biaya sekolah yang
semakin tidak memanusiawikan rasa, atau mungkin hanya untuk setoran
kepada ‘atasan’. Sekali lagi, segala sesuatunya itu dilakukan tanpa keluhan,
apalagi duka.
Tapi kita, Kawan…
Kita yang mungkin telah bekerja dengan sangat nyaman di ruangan ber-ac, yang
mungkin telah cukup santai belajar di perguruan tinggi atau sekolah yang kadang
tidak pantas disebut layak sebagai tempat menimba ilmu, atau yang mungkin telah
berpenghasilan tetap tiap bulannya, yang mungkin tengah sibuk berkutat dengan
agenda-agenda ummat, berda’wah, mengajar, mengisi forum-forum kajian, berjibaku
dengan berbagai amanah, atau apapunlah namanya.
Terkadang masih juga mengeluh dan meratap. “Gaji kecil apanya yang
menyenangkan?”, “Dosen killer gimana mau nyaman belajar?”, “Materi segudang
gimana mau siap ujian?”, “Murid sedikit dan jarang datang, gimana mau
semangat?”, “Makanan itu-itu melulu, gimana mau sehat?”, “SDM sedikit, gimana
da’wah mau berhasil?”…. dan berjuta keluhan yang kita lontarkan setiap
detiknya.
Padahal Kawan, dibandingkan bocah-bocah pengamen tadi, kita jauh lebih
beruntung. Ada lembar-lembar rupiah yang tiap bulannya kita terima, ada materi-
materi kuliah yang dosen kita ajarkan, ada istri yang siap menyambut dengan
cinta dan senyuman, memasakkan makanan, membenahi rumah dan mencucikan pakaian,
ada objek-objek da’wah yang dengan adanya mereka, ladang pahala siap dialirkan,
ada setumpuk amanah yang jika ditunaikan, akan memberatkan timbangan amal
kebajikan, ada buah hati yang siap menghibur perasaan dengan kepolosannya yang
menggemaskan, dan berjuta lagi kenikmatan yang mungkin justru seringkali kita
anggap beban.
Kawan, bukan kesyukuran yang ingin diangkat dalam tulisan ini. Tapi yang ingin
ditekankan disini bahwa imajinasi kita-lah penentu segala hal yang kita terima.
Ketika mungkin gaji kecil yang kita peroleh, kita persepsikan sebagai suatu
rezeki dari Allah, tentu kita tak akan banyak mengeluh. Ketika ada
dosen 'killer' mengajar, kita persepsikan sebagai cambuk untuk giat belajar,
mungkin kita akan selalu bersemangat. Ketika para murid yang jarang hadir, kita
persepsikan sebagai akibat dari kekurangan kita dalam membawakan materi
(pelajaran) misalnya, mungkin kita akan senantiasa termotivasi untuk
memperbaiki diri. Ketika amanah yang bertumpuk dan datang bertubi, kita
persepsikan sebagai kesempatan ‘tuk meraih pahala sebesar-besarnya, mungkin tak
ada lagi wajah-wajah tertekuk dan cemberut. Ketika pelayanan istri yang
‘begitu-
begitu saja’, kita persepsikan sebagai latihan untuk qona’ah dengan apa yang
ada, mungkin rumah tangga akan senantiasa terasa tenteram. Ketika tingkah polah
dan kenakalan para bocah yang mengesalkan, kita persepsikan sebagai ajang untuk
melatih kesabaran, mungkin kita akan menjadi orangtua yang begitu dicintai
putra-putrinya. Ketika hanya ada segelintir SDM di lingkungan kita untuk
berda’wah, kita persepsikan sebagai pembelajaran dari Allah dan peluang ‘tuk
meraih imbalan-Nya yang lebih besar, mungkin tak akan ada lagi berbagai
keluhan.
Begitulah, Kawan.
Ternyata persepsi kita, cara pandang kita, paradigma kita dalam mengolah
kognisi dan rasa jiwa, begitu menentukan sikap kita dalam menjalani kehidupan.
Seperti bocah-bocah pengamen tadi. Mereka mempersepsikan kerja keras menghibur
orang sebagai suatu keriangan, senyuman, keceriaan, dan rasa sukacita tanpa
setitik pun duka. Padahal mereka tidak tahu apakah dengan berlaku seperti itu,
mereka cukup dapat memenuhi tuntutan kehidupan yang bisa jadi jauh lebih berat
dari kehidupan kita sekarang.
Ya, sebab persepsi mereka membahasakannya sebagai suatu kepositifan, bukan hal
yang menyebalkan dan menambah beban.
Kawan, ada pepatah barat yang mengatakan, You Are What You Think You Are (Kita
adalah apa yang kita pikirkan), maka mengapa kita tidak mencoba mengubah pola
pikir kita, persepsi-persepsi kita, untuk menjadi lebih positif dan memandang
segalanya sebagai hal yang bukan beban? Jika kita telah berpersepsi demikian,
maka insya Allah, kehidupan adalah kenikmatan yang harus kita syukuri setiap
detiknya, dan kebahagiaan hakiki pun dapat terasakan oleh jiwa-jiwa yang ikhlas
lagi lapang.
Nah Kawan,
Matahari belum terbit di sebelah barat dan belum tenggelam di sebelah timur
bumi. Semoga Dia berkenan memberi kita kesempatan untuk terus memperbaiki diri
dalam menghadapi perjalanan yang sangat sebentar ini, salah satunya dengan
mempersepsikan segala yang terjadi dalam sebuah kepositifan berfikir, sehingga
kita ‘kan terus bersyukur kepadaNya, dalam keadaan apapun. Bagaimana? (indra
fathiana, psychofath@yahoo.com)
skip to main |
skip to sidebar
Thursday, March 31, 2011
Blog Archive
Entri Populer
-
Kita semua mengetahui bahwa sesungguhnya manusia itu tidak sempurna, segalanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka, sebaiknya perbedaa...
-
Francisco Dao is over it. He's been a part of the upstart tech scene for years, and he's seen art of the personal connection disa...
-
Mungkin, salah satu penyakit paling kronis yang sudah menggerogoti kehidupan manusia di muka bumi ini adalah KEBOHONGAN. Kebohongan alia...
-
Hybrids and electric vehicles were just the beginning. Next up: the mushroom mobile. Ecovative Design , a startup in Green Island, N.Y., i...
-
Cerita singkat ini, ehmm.. lebih mirip uraian, telah banyak memberikan motivasi dan inspirasi. Ini bukan tulisan hasil pemikiran saya, say...
Blog Roll
Translate
Followers
Powered by Blogger.
0 komentar:
Post a Comment