Thursday, March 31, 2011

You Are What You Think You Are

 Di perut kereta rel listrik dalam perjalanan Depok-Jakarta, siang
itu, sekitar 14.30 wib, muncul sekelompok pengamen cilik dengan segala
atributnya. Sembari mengucap salam, dentam musik mereka membangunkan sebagian
besar penumpang yang terserang kantuk. Lalu mengalirlah lagu-lagu lawas bernada

gembira, serasa membawa nuansa angin segar pada siang yang cukup suntuk dan
gerah.

“Oo... Carol….

Gitar, gendang, kecrekan dan lengkingan suara bocah 9 tahun-an itu terdengar
begitu riang. Tanpa sadar menarik senyum dan hentakan kaki tiap penumpang KRL
yang ada.

Seolah tanpa lelah, bocah-bocah itu membawakan 3-4 lagu, hingga ketika bait
terakhir nyaris usai, 2 orang mahasiswa yang sejak awal begitu menikmati sajian

mereka, berteriak lantang, “Lagi! Lagi!”. Dan temannya menimpali, “We want
more! We want more!”.

Kawan, terkadang hidup ini terasa begitu berat. Jam kerja yang padat, jadwal
kuliah yang penuh, kognitif yang tertekan oleh ujian-ujian, ulah anak-anak yang

banyak tingkah, kepenatan yang menumpuk, amanah yang tak habis-habis dan tak
kunjung selesai, dan segala problematika kehidupan lainnya, terasa begitu
membuat tertekan.

Tapi, mari kita tengok dan renungkan sejenak.

Lihatlah wajah-wajah bocah pengamen cilik tadi yang begitu riang gembira, tetap

menghibur orang lain meski tak pernah tahu apakah sukacita dalam dirinya telah
cukup melebur. Mereka hanya bernyanyi, dan itu mereka lakukan dengan demi
segenggam logam dan recehan. Dan mereka perbuat semua itu demi mempertahankan
hidupnya; mungkin untuk makan, mungkin untuk membayar biaya sekolah yang
semakin tidak memanusiawikan rasa, atau mungkin hanya untuk setoran
kepada ‘atasan’. Sekali lagi, segala sesuatunya itu dilakukan tanpa keluhan,
apalagi duka.

Tapi kita, Kawan…
Kita yang mungkin telah bekerja dengan sangat nyaman di ruangan ber-ac, yang
mungkin telah cukup santai belajar di perguruan tinggi atau sekolah yang kadang

tidak pantas disebut layak sebagai tempat menimba ilmu, atau yang mungkin telah

berpenghasilan tetap tiap bulannya, yang mungkin tengah sibuk berkutat dengan
agenda-agenda ummat, berda’wah, mengajar, mengisi forum-forum kajian, berjibaku

dengan berbagai amanah, atau apapunlah namanya.

Terkadang masih juga mengeluh dan meratap. “Gaji kecil apanya yang
menyenangkan?”, “Dosen killer gimana mau nyaman belajar?”, “Materi segudang
gimana mau siap ujian?”, “Murid sedikit dan jarang datang, gimana mau
semangat?”, “Makanan itu-itu melulu, gimana mau sehat?”, “SDM sedikit, gimana
da’wah mau berhasil?”…. dan berjuta keluhan yang kita lontarkan setiap
detiknya.

Padahal Kawan, dibandingkan bocah-bocah pengamen tadi, kita jauh lebih
beruntung. Ada lembar-lembar rupiah yang tiap bulannya kita terima, ada materi-
materi kuliah yang dosen kita ajarkan, ada istri yang siap menyambut dengan
cinta dan senyuman, memasakkan makanan, membenahi rumah dan mencucikan pakaian,

ada objek-objek da’wah yang dengan adanya mereka, ladang pahala siap dialirkan,

ada setumpuk amanah yang jika ditunaikan, akan memberatkan timbangan amal
kebajikan, ada buah hati yang siap menghibur perasaan dengan kepolosannya yang
menggemaskan, dan berjuta lagi kenikmatan yang mungkin justru seringkali kita
anggap beban.

Kawan, bukan kesyukuran yang ingin diangkat dalam tulisan ini. Tapi yang ingin
ditekankan disini bahwa imajinasi kita-lah penentu segala hal yang kita terima.

Ketika mungkin gaji kecil yang kita peroleh, kita persepsikan sebagai suatu
rezeki dari Allah, tentu kita tak akan banyak mengeluh. Ketika ada
dosen 'killer' mengajar, kita persepsikan sebagai cambuk untuk giat belajar,
mungkin kita akan selalu bersemangat. Ketika para murid yang jarang hadir, kita

persepsikan sebagai akibat dari kekurangan kita dalam membawakan materi
(pelajaran) misalnya, mungkin kita akan senantiasa termotivasi untuk
memperbaiki diri. Ketika amanah yang bertumpuk dan datang bertubi, kita
persepsikan sebagai kesempatan ‘tuk meraih pahala sebesar-besarnya, mungkin tak

ada lagi wajah-wajah tertekuk dan cemberut. Ketika pelayanan istri yang
‘begitu-
begitu saja’, kita persepsikan sebagai latihan untuk qona’ah dengan apa yang
ada, mungkin rumah tangga akan senantiasa terasa tenteram. Ketika tingkah polah

dan kenakalan para bocah yang mengesalkan, kita persepsikan sebagai ajang untuk

melatih kesabaran, mungkin kita akan menjadi orangtua yang begitu dicintai
putra-putrinya. Ketika hanya ada segelintir SDM di lingkungan kita untuk
berda’wah, kita persepsikan sebagai pembelajaran dari Allah dan peluang ‘tuk
meraih imbalan-Nya yang lebih besar, mungkin tak akan ada lagi berbagai
keluhan.

Begitulah, Kawan.
Ternyata persepsi kita, cara pandang kita, paradigma kita dalam mengolah
kognisi dan rasa jiwa, begitu menentukan sikap kita dalam menjalani kehidupan.
Seperti bocah-bocah pengamen tadi. Mereka mempersepsikan kerja keras menghibur
orang sebagai suatu keriangan, senyuman, keceriaan, dan rasa sukacita tanpa
setitik pun duka. Padahal mereka tidak tahu apakah dengan berlaku seperti itu,
mereka cukup dapat memenuhi tuntutan kehidupan yang bisa jadi jauh lebih berat
dari kehidupan kita sekarang.

Ya, sebab persepsi mereka membahasakannya sebagai suatu kepositifan, bukan hal
yang menyebalkan dan menambah beban.

Kawan, ada pepatah barat yang mengatakan, You Are What You Think You Are (Kita
adalah apa yang kita pikirkan), maka mengapa kita tidak mencoba mengubah pola
pikir kita, persepsi-persepsi kita, untuk menjadi lebih positif dan memandang
segalanya sebagai hal yang bukan beban? Jika kita telah berpersepsi demikian,
maka insya Allah, kehidupan adalah kenikmatan yang harus kita syukuri setiap
detiknya, dan kebahagiaan hakiki pun dapat terasakan oleh jiwa-jiwa yang ikhlas

lagi lapang.

Nah Kawan,
Matahari belum terbit di sebelah barat dan belum tenggelam di sebelah timur
bumi. Semoga Dia berkenan memberi kita kesempatan untuk terus memperbaiki diri
dalam menghadapi perjalanan yang sangat sebentar ini, salah satunya dengan
mempersepsikan segala yang terjadi dalam sebuah kepositifan berfikir, sehingga
kita ‘kan terus bersyukur kepadaNya, dalam keadaan apapun. Bagaimana? (indra
fathiana, psychofath@yahoo.com)

0 komentar:

Post a Comment